November 5, 2025

Mapag Sri di Guwa Lor, Tradisi Panen yang Sarat Nilai Budaya Lokal

 

ungkapsebab.com, BERITA CIREBON. Pemerintah Desa Guwa Lor, Kecamatan Kaliwedi, Kabupaten Cirebon, menggelar tradisi tahunan Mapag Sri pada Selasa (17/6/2025) sebagai bentuk pelestarian budaya lokal dan penyemangat bagi para petani menjelang musim panen. Kegiatan dipusatkan di depan balai desa dengan menghadirkan pertunjukan wayang kulit semalam suntuk.

Tradisi ini bukan sekadar hiburan, tetapi juga sarana penyampaian pesan moral, nilai-nilai agraris, serta edukasi sosial. Siang hari, cerita dalam pementasan wayang mengangkat tema pertanian dan serangan hama. Malam harinya, kisah-kisah bertema tata krama dan kehidupan sosial disuguhkan kepada warga.

Sekretaris Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kabupaten Cirebon, Amin Mughni, menyebut bahwa Mapag Sri adalah bagian dari budaya agraris yang masih kuat di pesisir Cirebon. Ia mengatakan, “Wayang kulit itu bukan sekadar pertunjukan. Dulu, para wali, termasuk Sunan Kalijaga, menggunakannya untuk berdakwah melalui seni.”

Amin juga menekankan pentingnya pelestarian tradisi seperti ini karena mengandung nilai syukur kepada Tuhan atas hasil panen, serta menjadi sarana pembelajaran etika dan sopan santun bagi generasi muda.

Pemerintah daerah, kata Amin, kini tengah berupaya menghidupkan kembali berbagai tradisi lokal lainnya seperti sedekah laut, tari topeng, wayang golek, hingga angklung bungko. “Semua ini bagian dari langkah untuk merawat budaya Cirebon agar tidak hilang,” ujarnya.

Sementara itu, Kuwu Guwa Lor, Maksudi, mengungkapkan bahwa Mapag Sri merupakan warisan leluhur yang selalu digelar menjelang masa panen. Ia mengatakan, “Alhamdulillah, tahun ini kami bisa mengadakan Mapag Sri lagi. Ini bukan hanya tentang panen, tapi juga tentang menjaga kebersamaan warga.”

BACA JUGA: Syukuran Kelulusan Siswa SMPN 3 Kawali Digelar Sederhana

Menurutnya, panen tahun ini tidak seoptimal sebelumnya akibat keterlambatan masa tanam hingga akhir Februari, serta serangan hama seperti walang sangit. Namun hasil panen masih cukup baik.

“Kami masih dapat sekitar 4 sampai 4,5 ton per bau. Biasanya bisa lebih, tapi dibanding desa lain, kami masih bersyukur,” tuturnya.

Maksudi berharap tradisi ini terus dilestarikan. “Mapag Sri menyatukan warga, menguatkan semangat bertani, dan menjaga budaya kita,” ujarnya. (FII, ungkapsebab.com)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *